Organisasi
yang selalu berkembang merupakan dambaan semua orang. Baik pemerintah maupun
swasta mengharapkan organisasinya tumbuh dan berkembang dengan baik, sebab
dunia terus berkembang. Dengan perkembangan tersebut diharapkan organisasi
mampu bersaing dan berakselerasi dengan kemajuan zaman. Kenyataan menunjukkan
bahwa organisasi yang tidak mampu berakselerasi dengan kemajuan zaman akan
tertinggal untuk kemudian tenggelam tertelan zaman.
Salah
satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan suatu organisasi
adalah melalui hasil Penilaian Prestasi Kerja (PPK) yang ada pada organisasi
tersebut. PPK dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Performance
Appraisal. Dari PPK dapat dilihat kinerja kerja organisasi yang dicerminkan
oleh kinerja kerja pegawainya.
Hasil
PPK dapat menunjukkan apakah SDM (pegawai) pada organisasi terebut telah
memenuhi sasaran/target sebagaimana yang dikehendaki oleh organisasi, baik
secara kuantitas maupun kualitas, bagaimana perilaku pegawai dalam melaksanakan
pekerjaannya, apakah cara kerja tersebut sudah efektif dan efisien, bagaimana
penggunaan waktu kerja dan sebagainya. Dengan informasi tersebut berarti hasil
PPK merupakan refleksi dari berkembang atau tidaknya organisasi.
Pada
organisasi yang cukup maju, hasil PPK digunakan sebagai bahan pertimbangan
proses manajemen SDM seperti promosi, demosi, diklat, kompensasi, pemutusan
hubungan kerja dan sebagainya. Dijadikannya PPK sebagai bahan perimbangan
sedikit banyaknya memotivasi pegawsai untuk bekerja lebih giat lagi. Dengan
demikian PPK merupakan salah satu faktor kunci tumbuh dan berkembangnya suatu
organisasi.
Keinginan
bangsa kita untuk menuju perbaikan kinerja kerja melalui PPK sudah ada. Hal
tersebut ditunjukkan oleh penggunaan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
(DP3) di seluruh organisasi pemerintah dan sebagian besar organisasi swasta. Namun
sayangnya kebanyakan pengelola PPK (departemen SDM/personalia) masih belum
siap.
Fenomena yang kemudian muncul ke permukaan
adalah PPK masih belum dianggap penting. Anggapan tersebut ditunjang oleh
sistem penilaian PPK yang masih bersifat sembarangan sebagai akibat dari
hasil PPK yang belum dijadikan bahan pertimbangan proses manajemen SDM
selanjutnya, seperti perencanaan karier, diklat, kompensasi, PHK, dan
sebagainya.
Di
samping itu, PPK yang ada juga banyak memiliki kelemahan seperti : besarnya
porsi poin yang bersifat subyektif, penilaian yang dilakukan satu tahun sekali
pada periode yang sama dapat mengakibatkan bias, banyak organisasi yang belum
memiliki uraian kerja yang mantap yang mengakibatkan kesulitan di dalam membuat
PPK, dan sebagainya.
Sehubungan
dengan hal di atas, maka materi Penilaian Prestasi Kerja (PPK) dalam manajemen
SDM merupakan bagian yang cukup penting untuk dikaji dan dipelajari.
Pembicaraan mengenai PPK memang menarik. Sebagai bagian dari Manajemen Sumber
Daya Manusia, PPK atau Performance Appraisal merupakan salah satu faktor
kunci tumbuh dan berkembangnya suatu organisas/perusahaan.
Hasil
penilaian dapat menunjukkan apakah Sumber Daya Manusia (pegawai/karyawan) pada
organisasi/perusahaan tersebut sudah memenuhi target atau sasaran yang
dikehendaki baik secara kualitas maupun kuantitas, bagaimana perilaku pekerja
dalam melakukan pekerjaannya, apakah cara kerja tersebut sudah efektif dan
efisien, bagaimana penggunaan waktu kerja, dan sebagainya.
Ketidakakuratan
hasil PPK dapat merusak atau mengganggu perencanaan sumber daya manusia pada
organisasi. Perencanaan karier, pengembangan karier, diklat, penambahan tenaga
kerja akan salah, bila hasil PPK tidak dapat menggambarkan kondisi pekerja yang
sebenarnya. Hasil PPK pegawai juga dapat dijadikan pertimbangan
organisasi/perusahaan di dalam memberikan kenaikan upah/bonus.
Hasil
PPK tidak hanya berpengaruh pada organisasi, tapi juga berpengaruh pada
individu pegawai/ karyawan. PPK yang tidak didasarkan pada kriteria yang
obyektifdapat menimbulkan keresahan dan rasa tidak aman. Sebaliknya penilaian
dengan cara yang tepat dan standar atau target yang dinilai jelas dapat
meningkatkan motivasi dan gairah kerja pegawai.
Sehubungan
dengan besarnya pengaruh hasil penilaian, maka perlu diupayakan agar penilaian
dilakukan seobyektif mungkin. Karenanya harus dihindari kemungkinan like
or slide dalam diri penilai saat melakukan penilaian prestasi kerja.
Penghindaran tersebut dapat dilakukan dengan pemilihan materi, teknik, metode
dan frekuensi yang tetap dalam melakukan penilaian prestasi kerja.
Penilaian Prestasi Kerja (PPK)
adalah “suatu cara dalam melakukan evaluasi terhadap prestasi kerja para
pegawai dengan serangkaian tolok ukur tertentu yang obyektif dan berkaitan
langsung dengan tugas seseorang serta dilakukan secara berkala”.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
French (1986), PPK pada dasarnya merupakan kajian sistematik tentang kondisi
kerja pegawai yang dilakukan secara formal. Menurut French, kajian kondisi
kerja ini haruslah dikaitkan dengan standar kerja yang dibangun, baik itu
standar proses kerja maupun standar hasil kerja. Tidak kalah pentingnya,
organisasi harus mengkomunikasikan penilaian tersebut kepada pegawai yang
bersangkutan.
Dengan demikian sasaran yang
menjadi obyek penilaian adalah kecapakan/kemampuan pegawai melaksanakan suatu
tugas/pekerjaan yang diberikan, penampilan atau perilaku dalam melaksanakan
tugas, sikap dalam menjalankan tugas, cara yang digunakan dalam melaksanakan
tugas, ketegaran jasmani dan rohani di dalam menjalankan tugas, dan sebagainya.
Penilaian atau investasi kerja
juga sering dilakukan secara informal oleh supervisor atau atasan
terhadap bawahannya. Bedanya, penilaian yang informal tersebut adalah
spontanitas dari supervisor atau atasan dan tidak dirancang secara
khusus sebagimana halnya PPK. Selain itu penilaian atau evaluasi kerja secara
informal cenderung lebih ke arah memperbaiki pekerjaan keseharian dari pada
penilaian terhadap kemampuan atau perilaku kerja pegawai. Sedangkan PPK adalah
kajian kondisi pegawai dengan rancangan dan metode khusus.
PPK dapat digunakan untuk
berbagai tujuan. Beberapa Tujuan Umum penggunaan PPK dalan organisasi
industri maupun non indutri adalah :
·
Peningkatan imbalan (dengan system merit),
·
Feed back/umpan balik bagi pegawai yang
bersangkutan,
·
Promosi,
·
PHK atau pemberhentian sementara,
·
Melihat potensi kinerja pegawai,
·
Rencana suksesi,
·
Transfer/pemindahan pegawai
·
Perencanaan pengadaan tenaga kerja
·
Pemberian bonus
·
Perencanaan karier
·
Evaluasi dan pengembangan Diklat
·
Komunikasi intenal
·
Kriteria untuk validasi prosedur suksesi
·
Kontrol pengeluaran.
Secara garis besar terdapat dua Tujuan
Utama PPK, yaitu :
- Evaluasi terhadap tujuan (goal) organisasi, mencakup :
·
Feedback pada pekerjaan untuk mengetahui
di mana posisi mereka.
·
Pengembangan data yang valid untuk pembayaran
upah/bonus dan keputusan promosi serta menyediakan media komunikasi untuk
keputusan tersebut.
·
Membantu manajemen membuat keputusan
pemberhentian sementara atau PHK dengan memberikan “peringatan” kepada pekerja
tentang kinerja kerja mereka yang tidak memuaskan. (Michael Beer dalam French,
1986).
- Pengembangan tujuan (goal) organisasi, mencakup :
·
Pelatihan dan bimbingan pekerjaan dalam rangka
memperbaiki kinerja dan pengembangan potensi di masa yang akan datang.
·
Mengembangkan komitmen organisasi melalui
diskusi kesempatan karier dan perencanaan karier.
·
Memotivasi pekerja
·
Memperkuat hubungan atasan dengan bawahan.
·
Mendiagnosis problem individu dan organisasi.
· Hasil
kerja individu
Jika mengutamakan
hasil akhir, maka pihak manajemen melakukan penilaian prestasi kerja dengan
obyek hasil kerja individu. Biasanya berlaku pada bagian produksi dengan
indikator penilaian output yang dihasilkan, sisa dan biaya per-unit yang
dikeluarkan.
· Perilaku
Untuk tugas yang
bersifat instrinsik, misalnya sekretaris atau manajer, maka penilaian prestasi
kerja ditekankan pada penilaian terhadap perilaku, seperti ketepatan waktu
memberikan laporan, kesesuaian gaya kepemimpinan, efisiensi dan efektivitas
pengambilan keputusan, tingkat absensi.
· Sifat
Merupakan
obyek penilaian yang dianggap paling lemah dari kriteria penilaian prestasi
kerja, karena sulit diukur atau tidak dapat dihubungkan dengan hasil tugas yang
positif, seperti sikap yang baik, rasa percaya diri, dapat diandalkan, mampu
bekerja sama.
a. Terhadap Individu
Hasil PPK dapat berpengaruh
positif maupun negatif terhadap moral kerja pekerja. Hal ini dimungkinkan
mengingat peranan hasil PPK yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan
manajemen SDM.
Cara pandang pegawai terhadap PPK dan penggunaan hasil
PPK menentukan positif atau negatif pengaruh PPK pada pegawai yang
bersangkutan. Sebagai contoh, jika PPK lebih dipandang sebagai kritik
dari pada pertolongan perusahaan terhadap pegawai. Maka PPK akan
menumbuhkan rasa “was-was” pada diri pegawai yang bersangkutan saat dilakukan
PPK atau penerapan hasil PPK. Perasaan was-was ini pada gilirannya akan
menurunkan semangat kerja. Sebaliknya jika PPk lebih dipandang sebagai pertolongan
atau pemberian kesempatan pengembangan diri dari pada kritik, maka PPK
akan membuat pegawai yang bersangkutan bertambah giat dan selalu berupaya
mengembangkan kreativitasnya di dalam melaksanakan pekerjaannya.
Dengan
demikian sisi pandang atau interprestasi pegawai terhadap PPK merupakan hal
yang mendasari baik buruknya akibat perubahan sikap/moral pekerja setelah
menerima hasil PPK. Karenanya pemilihan metode yang tepat dengan tolok ukur
yang tepat serta waktu yang tepat merupakan kunci yang dapat mengeliminir
kecurigaan pegawai terhadap subyektivitas penilai saat melakukan PPK.
b.
Terhadap Organisasi
PPK
mempengaruhi orgnisasi, khususnya pada proses kegiatan SDM. Sebagaimana halnya
dengan pengaruh PPK terhadap individu, informasi hasil penilaian merupakan
umpan balik sukses tidanya fungsi personalia. Besar kecilnya pengaruh PPK pada
organisasi tergantung sedikit banyaknya pada informasi yang didapat dari hasil
PPK tersebut. PPK yang komprehensif dapat menghasilkan informasi yang cukup.
Informasi yang bisa didapat antara lain rekrutmen, seleksi, orientasi, kebutuhan
diklat dan sebagainya.
Jika sejumlah besar pegawai menerima hasil PPK dengan
nilai buruk, maka dapat diduga kemungkinan adanya kelalaian atau kesalahan
program perencanaan SDM pada organisasi yang bersangkutan. Atau kungkin hal
tersebut terjadi akibat target goal yang ditetapkan terlalu tinggi,
sementara kemampuan pegawai dan/atau fasilitas yang ada pada organisasi
tersebut belum memungkinkan untuk mencapai target goal terebut.
Selain
untuk mengevaluasi program manajemen SDM. PPK juga dapat digunakan untuk
mengembangkan SDM organisai seperti promosi, kenaikan upah, bonus, pelatihan
dan sebagainya. Dengan perkataan lain, hasil Penilaian Prestasi Kerja dapat
digunakan untuk mengevaluasi dan mengembangkan SDM saat ini serta mengkaji
kemampuan organisasi untuk menentukan kebutuhan SDM di masa yang akan datang.
Pendekatan
yang dilakukan dalam penilaian prestasi kerja pegawai sangat banyak. Dari sekian
banyak metode yang digunakan dapat dikelonpokkan menjadi dua bagian, yaitu 1)
metode yang berorientasi masa lalu, seperti
: Skala Grafik dengan Rating, Metode Ceklis (Checklist),
Metode Essai, Metode Pencatatan Kejadian Kritis, dan Metode Wawancara; dan 2)
metode yang berorientasi masa depan, yakni penilaian diri, tes psikologi, MBO,
dan pusat penilaian.
A. Metode
Penilaian Yang Berorientasi Masa Lalu
1) Skala Grafik
Dengan Rating
Skala grafik dengan rating atau juga dikenal dengan metode rating
konvensional, adalah metode yang banyak digunakan. Terdapat banyak versi
tentang metode ini namun semuanya berfokus pada perilaku spesifik atau
karakteristik pegawai yang berkaiatan dengan kinerja kerja. Contoh skala Rating
dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Dalam versi terbaru skala grafik dengan
rating perilaku spesifik pegawai diuraikan kembali berdasarkan perbedaan
tingkatan dan perbedaan departemen/bagian pekerjaan untuk masing-masing
karakteristik. Kelemahan metode ini adalah perilaku yang dinilai tidak spesifik
dan penilai cenderung memberikan nilai rata-rata.
2) Metode Checklist
Metode checklist adalah metode PPK dengan cara memberi tanda (V)
pada uraian perilaku negatif atau positif pegawai/karyawan yang namanya tertera
dalam daftar. Masing-msing perilaku tersebut diberi bobot nilai. Besarnya bobot
nilai tergantung dari tingkat kepentingan perilaku tersebut terhadap suksesnya
suatu pekerjaan. Perhatikan contoh berikut :
Keuntungan dari metode ini mudah untuk digunakan dan dapat menghindari
kecenderungan pemberian nilai rata-rata atau pemberian nilai karena kemurahan
hati. Namun karena keharusan adanya relevansi antara item perilaku yang
terdaftar dalam penilaian prestasi dengan pekerjaan yang dilaksanakan, maka
dibutuhkan keahlian khusus untuk membangun sejumlah item perilaku yang
berbeda untuk jenis pekerjaan dan tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu
dibutuhkan bantuan tenaga profesional yang andal di bidang ini. Ketidakandalan
dalam membuat item perilaku dan kesesuaian bobot nilai masing-masing item
dapat mengakibatkan ketidaksesuaian di dalam pemberian ukuran-ukuran item.
Akibatnya para supervisor kesulitan di dalam mengiterprestasikan
hasilnya.
3) Metode
Esai
Pada metode ini, penilai
menuliskan sejumlah pertanyaan terbuka yang terbagi dalam beberapa kategori.
Beberapa kategori pertanyaan terbuka yang biasa digunakan :
1.
Penilaian kinerja seluruh pekerjaan.
2.
Kemungkinan pekerja dipromosikan
3.
Kinerja kerja pegawai saat ini
4.
Kekuatan dan kelemahan pegawai
5.
Kebutuhan tambahan training
Pendekatan ini memberikan fleksibilitas pada penilaian dengan tidak
memasyarakatkan perhatian khusus pada sejumlah faktor. Di sisi lain karena
metode ini menggunakan pertanyaan yang sangat terbuka, maka penilai akan
kesulitan untuk membandingkan dan menilai jawaban-jawaban dari pertanyaan
tersebut. keberhasilan metode ini juga sangat tergantung pada kemampuan dan
kriativitas supervisor dalam mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan
jawaban yang benar-benar dapat mewakili kondisi pegawai yang dinilai.
4) Metode
Pencatatan Kejadian Kritis
Metode pencatatan kejadian yang kritis
adalah Penilaian Prestasi Kerja yang menggunakan pendekatan dengan menggunakan
catatan-catatan yang menggambarkan perilaku karyawan yang sangat baik atau yang
sangat buruk. Perhatikan contoh berikut :
5) Metode
Wawancara
Selain kelima metode di atas, PPK pegawai juga dapat dilakukan dengan
cara Wawancara. Maksud dari penggunaan cara wawancara ini adalah agar
pegawai mengetahui posisi dan bagaimana cara kerja mereka.
Selain itu wawancara juga
dimaksudkan untuk :
a.
Mendorong perilaku positif.
b.
Menerangkan apa target/sasaran yang diharapkan dari
pegawai.
c.
Mengkomunikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan
upah dan promosi.
d.
Rencana memperbaiki kinerja di masa yang akan datang.
e.
Memperbaiki hubungan antara atasan dengan bawahan.
B. Metode
Penilaian Yang Berorientasi Masa Depan
a) Penilaian
Diri (self appraisal)
Metode ini
menekankan adanya penilaian yang dilakukan karyawan terhadap diri sendiri
dengan tujuan melihat potensi yang dapat dikembangkan dari diri mereka.
b) Tes Psikologi
Biasanya
dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam, tes psikologi, diskusi, review
terhadap hasil evaluasi pekerjaan karyawan. Tes ini dilakukan oleh psikolog
untuk mengetahui potensi karyawan yang dapat dikembangkan dimasa datang.
Beberapa tes psikologi yang dapat dilakukan, seperti tes intelektual, emosi,
motivasi.
c) Management
By Objectives (MBO)
Management By Objectives (MBO) yang diperkenalkan oleh Peter
Drucker adalah sistem yang menggambarkan kajian tentang target/sasaran
yang hendak dicapai berdasarkan kesepakatan antara supervisor dan
bawahannya. Kajian tentang bagaimana baiknya bawahan berprestasi selalu
ditinjau ulang dan dilakukan secara periodik. Uji coba selalu dibuat untuk
menuliskan target/sasaran dari segi kuantitas. Para ahli percaya bahwa target/sasaran
dapat dan selayaknya ditetapkan secara kuantitatif.
Persyaratan Pelaksanaan Metode MBO
Untuk melaksanakan penilaian dengan metode MBO, secara umum terdapat
sejumlah ketentuan yang harus dilaksanakan yaitu :
1.
Supervisor dan bawahan sama-sama menyetujui
elemen target pekerjaan bawahan yang akan dinilai periode tertentu (6 bulan
atau 1 tahun).
2.
Bawahan sungguh-sungguh melakukan kegiatan untuk
mencapai masing-masing target.
3.
Selama periode tersebut bawahan secara periodik mereview
perkembangan pekerjaan ke arah target yang akan dicapai.
4.
Pada akhir periode, supervisor dan bawahan
sama-sama mengevaluasi hasil pencapaian target.
Keuntungan MBO
Keuntungan terbesar dari metode MBO adalah teredianya target/sasaran
panilaian kinerja yang merupakan kesepakatan antara supervisor dan bawahannya.
Pada tingkat individu, MBO dapat menjadikan pegawai melakukan kontrol diri,
membangun kepercayaan diri, memotivasi diri, memperbaiki kinerja, mengembangkan
masa depan dan mempunyai pengetahuan penuh tentang kriteria yang akan
dievaluasi.
Pada tingkatan sehubungan interpersonal, MBO dapat
meningkatkan hubungan antara bawahan dengan atasan, memperbaiki komunikasi, dan
menyediakan kerangka kerja (framework) yang lebih baik. Pada tingkat
organisasi, perbaikkan kinerja kerja secara keseluruhan, teridentifikasinya
potensi manajemen dan kebutuhan pengembangan, koordinasi sasaran/target
yang lebih baik, dan terkuranginya duplikasi serta overlapping tugas dan
aktivitas merupakan keuntungan yang bisa didapat dari metode MBO.
·
Kelemahan MBO
Pendekatan MBO bukanlah metode yang paling sempurna.
MBO efektif bila sistematis dapat menyatukan setting target yang dibuat
oleh individu dan organisasi. Target yang dihasilkan bersama antara supervisor
dan bawahan dengan sendirinya berbeda dengan target yang telah ditetapkan
organisasi. Dengan demikian MBO juga merupakan autocritic organisasi.
Salah satu kelemahan MBO adalah : membutuhkan waktu
yang cukup lama hingga terkesan terjadi pemborosan waktu. Beberapa masalah
yang mungkin timbul akibat diterapkannya metode MBO adalah:
1.
Terlalu banyak tekanan pada ukuran tujuan kuantitatif
dapat membawa pada pengabaian tanggung jawab penting lainnya.
2.
Tekanan pada kuantitas mungkin akan mengorbankan
kualitas.
3.
Jika evaluasi didasarkan pada kesepakatan hasil yang
dicapai, maka bawahan secara sengaja atau tidak sengaja menset target yang
rendah sebagai hasil yang mereka capai.
4.
Memungkinkan adanya tendensi mengadopsi target/tujuan
yang dianggap penting oleh bawahan yang dominan.
5.
Penyedia (supervisor) dapat mengasumsikan tidak
ada Latihan dan Bimbingan.
·
Tim MBO
Dalam membangun dan mengembangkan target/sasaran, program MBO
kebanyakan menggunakan sistem one-on-one antara supervisor dengan
bawahan. Pada kebanyakan instansi, sistem one-on-one tidak dapat
dilaksanakan pada kebanyakan pekerjaan yang sifatnya interpenden, terutama pada
tingkat manajer dan supervisor. Baik manajer maupun supervisor
kesulitan bila harus melakukan one-on-one pada seluruh bawahannya untuk
membangun dan mengkaji ulang target/sasaran yang hendak dicapai. Di
samping memakan waktu yang cukup lama, juga akan mengganggu kegiatan kerja.
Karenanya pada kabanyakan instansi, metode MBO ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan tim untuk mengkaji ulang target-target tersebut. proses MBO
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
d) Pusat
Penilaian (Assesment Centre)
Merupakan lembaga pusat penilaian prestasi kerja, dimana lembaga tersebut
berfungsi melakukan penilaian prestasi kerja terhadap karyawan suatu
perusahaan. Lembaga ini biasanya telah memiliki berbagai bentuk metode
penilaian karyawan yang telah ditandarisasi, seperti tes psikologi, diskusi,
wawancara, simulasi.
6.6. PENILAI , VALIDITAS & RELIABILITAS DALAM PPK
Sebagimana diungkapkan di atas, departemen SDM atau personalia berperan
di dalam membuat rencana rancangan, memilih metode yang akan digunakan, serta
memilih siapa yang akan menilai karyawan. Keputusan yang diambil oleh
Departemen SDM atau personalia sangat berpengaruh pada hasil PPK. Rancangan
yang salah dan/atau pemilihan metode serta penilai yang salah akan
mengakibatkan kesalahan informasi yang didapat dari hasil PPK. Dengan perkataan
lain, informasi hasil prestasi kerja dapat menjadi tidak absah (invalid)
dan tidak dipercaya (unreliable).
Dengan demikian selain metode Penilaian Prestasi Kerja yang digunakan,
maka untuk mengembangkan atau merancang PPK perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut : 1) Pemilihan Penilai, 2) Validitas (benar) dan 3) Reliabilitas (dapat
dipercaya).
A. Pemilihan Penilai
Memutuskan siapa yang akan mengevaluasi pegawai adalah
sesuatu yang sangat penting dalam merancang program penilaian prestasi. Secara
umum diakui bahwa penilaian oleh penyelia (supervisor) sangat dilakukan
dengan mengkombinasikan penilaian supervisor dan nonsupervisor.
Langkah tersebut diambil untuk menghindari subyektivitas dan/atau kesalahan
yang mungkin terjadi bila penilai hanya supervisor atau atasan pegawai
yang bersangkutan saja. Untuk DP3 pegawai negeri, penilai selain atasan
langsung juga atasan dari atasan pegawai yang bersangkutan.
Menurut French (1986) penilai
dapat terdiri dari :
- Supervisor/atasan pegawai yang bersangkutan.
- Diri pegawai yang bersangkutan.
- Teman sekerja.
- Bawahan, dan
- Grup/kelompok, atau
- Kombinasi dari penilai-penilai di atas.
PPK pegawai yang dilakukan oleh atasan langsung paling
banyak dijumpai. Atasan merupakan orang yang diberikan otoritas formal untuk
melakukan penilaian. Atasan selalu memonitor kerja bawahannya serta mengawasi
pemberian imbalan yang diakibatkan oleh kinerja pegawai yang bersangkutan.
Secara khusus, atasan adalah orang dengan posisi terbaik yang mengawasi kinerja
bawahan serta menilai sejauh mana kinerja yang disajikan sesuai dengan target/sasaran
yang ditetapkan oleh unit kerjanya maupun organisasi secara keseluruhan.
Pada beberapa organisasi, pegawai yang bersangkutan
menilai kinerja kerja dirinya sendiri (self evaluation). Pendekatan ini
dilakukan dalam kaitannya dengan upaya membangun moral karyawan. PPK oleh diri
sendiri dapat dikombinasikan dengan penilaian yang dilakukan oleh atasan untuk
mendapatkan hasil yang terbaik. Pendekatan ini lebih menjurus pada penggunaan
metode MBO. Atasan dan pegawai yang bersangkutan secara independen melakukan
persiapan evaluasi kerja. Kemudian keduanya bertemu untuk mendiskusikan kajian
mereka. Setelah itu mereka melengkapi kajian tentang tanggung jawab mendatang,
perbaikan rencana, membangun aktivitas, tujuan karier dan ringkasan kinerja.
Satu keuntungan dari pendekatan ini adalah tersedianya basis untuk
mengklarifikasikan harapan dan persepsi pegawai yang bersangkutan dan atasan.
Penilaian oleh teman sekerja, meskipun tidak biasa
digunakan namun mempunyai kelebihan yaitu relatif lebih dipercaya (reliable).
Realibilitas ini didapat dari fakta di mana teman sekerja selalu berinteraksi
satu sama lain dalam kerja keseharian dan karena teman sekerja dianggap sebagai
penilai yang independen. Panilai oleh bawahan penting terutama yang berkaitan
dengan aspek kepemimpinan, karena bawahan adalah orang yang paling merasakan
dampak dari kepemimpinan atasannya. Sama halnya dengan penilaian yang dilakukan
oleh teman sekerja, panilaian oleh bawahan termasuk yang jarang digunakan.
Selain
penilaian oleh atasan langsung, penilaian yang dilakukan oleh grup merupakan pendekatan
panilaian yang banyak digunakan. Orang-orang yang terkumpul dalam grup
penilaian ini adalah mereka yang mengetahui materi serta metode penilaian yang
digunakan yang dapat menyediakan data yang lebih dari penilaian oleh atasan.
B. Validitas
(absah)
Berkaitan
dengan perancangan dan penggunaan metode, maka absahan (validitas) merupakan
sesuatu yang harus dipertimbangkan. Yang dimaksud dengan keabsahan adalah bahwa
nilai yang didapat oleh seseorag, terkait dengan pelaksanaan pekerjaan atau
dengan berbagai kriteria obyektif lain yang telah ditentukan sebelumnya.
Maksudnya data atau informasi yang didapat harus aktual saat diperoleh. Sebagai
contoh, prestasi kerja yang hanya dinilai satu tahun sekali dan dilakukan pada
akhir tahun, sedikit banyaknya akan mengurangi keabsahan (validitas) panilaian
karena kemungkinan besar, data atau informasi perilaku dan ketrampilan yang
didapat hanyalah terakhir.
C.
Reliabilitas (dapat dipercaya)
Yang dimaksud dengan dipercaya (reliable) ialah
bahwa hasil yang diperoleh konsisten setiap kali diambil dari dan oleh orang
yang sama. Skor atau hasil penilaian tetap sama walaupun menggunakan metode
yang berbeda. Reliabilitas metode penilaian dapat ditingkatkan dengan melatih
penilai untuk dapat menilai secara lebih baik.
D. Peranan
Departemen SDM
Departemen SDM dalam kaitannya
dengan PPK berperan sbb :
- Merancang dan mengimplementasikan program Penilaian Prestasi Pegawai.
- Menentukan siapa yang akan menilai, dan metode apa yang akan digunakan.
- Memimpin sejumlah penelitian tentang cara atau metode penilaian yang lebih bersifat adil (dapat dipercaya dan benar).
6.7.
BERBAGAI KENDALA DALAM PENILAIAN PRESTASI KERJA
Hingga saat ini tidak satupun dari metode panilaian prestasi di atas
dikatakan sebagai yang terbaik untuk semua kondisi dan sitasi
organisasi. Kondisi dan situasi yang berbeda menghendaki metode dan sistem yang
berbeda. Menurut French (1986), metode PPK yang terbaik tergantung pada :
a.
Pendekatan pada metode penilaian pada pekerjaan yang
akan dinilai.
b.
Variasi faktor organisasi yang dapat menolong
mengimplementasikan program penilaian (Iklim organisasi, training
prosedur penilaian, dan lain-lain).
Penilaian yang benar dan dapat dipercaya terutama penting di dalam
menggunakan kesempatan yang sama pada pekerja untuk mendapatkan petunjuk
pelaksanaan (Juklak) atau guidelines kerja. Sayangnya supervisor
dapat membuat kesalahan yang mengakibatkan peniaian menjadi kurang benar dan
kurang dapat dipercaya.
Kesalahan yang mungkin dilakukan oleh penilai berkaitan dengan faktor manusia,
dimana penilai tidak dapat terlepas dari unsur subyektif dalam manusia.
Kesalahan tersebut di antaranya adalah :
1). Hallo
Effect dan Horn Effect
Dalam bab 3 telah dijelaskan bahwa pewawancara dapat melakukan kesalahan
yang disebut dengan halo effect dan horn ffect. Kesalahan
tersebut juga dapat dilakukan oleh penilai. Kesalahan halo effect sangat
dimungkinkan bila penilai terpesona oleh perilaku pegawai seperti penampilan
atau kepribadiannya. Kekaguman ini dapat menutup mata penilai terhadap
kelemahan pegawai yang lain. Sebaliknya bila pegawai membuat kesalahan kecil
namun membekas di hati penilai, maka bisa jadi nilai yang didapat hasilnya
buruk meskipun sesungguhnya ia memiliki prestasi lebih.
2)
Kecenderungan menilai rata-rata cukup atau menengah.
Kebanyakan penilai kurang berani mencantumkan nilai yang rendah atau yang
tinggi. Sikap ini merupakan cerminan sebagaimana umumnya masyarakat dalam
menilai. Penilaian yang tinggi dikhawatirkan akan menjadikan pegawai sombong
dan lupa diri, sebaliknya penilaian yang rendah dikhawatirkan dapat menjatuhkan
mental pegawai. Karenanya seringkali penilai mencantumkan nilai rata-rata atau
nilai tengah.
3) Karena
“kemurahan hati”
Subyektivitas lainnya adalah kemurahan hati. Banyak penilai tidak tega
mencatumkan nilai sebenarnya. Seringkali panilai mencantumkan nilai katrol
sebagai kemurahan hati. Ketidakberanian mencantumkan nilai rendah selain karena
khawatir akan menjatuhkan mental pegawai, juga karena penilai khawatir
disalahkan oleh organisasi. Karena bisa jadi rendahnya nilai bukan semata-mata
kesalahan pegawai tapi karena kesalahan panilai dalam menilai (tidak valid
dan tidak reliable) atau penetapan target yang salah.
Terimakasih
BalasHapusPak minta ket refrensi y dong
BalasHapusSangat bermanfaat dan mudah dipahami
BalasHapusdafta pustka siapa itu Frech
BalasHapusbuku nya apa