Oleh : Cahyadi Takariawan
Kadang dijumpai sebagian laki-laki muslim memahami
bahwa pekerjaan kerumahtanggaan seperti mencuci baju, menyeterika, memasak,
membersihkan rumah dan lain sebagainya hanyalah kegiatan para isteri, bahkan
cenderung dikatakan sebagai kewajiban para isteri. Dengan pemahaman seperti itu
banyak suami yang tidak mau mempedulikan pekerjaan kerumahtanggaan karena
menganggap itu semua menjadi tanggung jawab isteri.
Memang, Rasulullah saw telah bersabda, “Wanita
adalah penanggung jawab di rumah suaminya dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya”. Akan tetapi hadits ini tidak
menunjuk secara pasti mengenai jenis-jenis pekerjaan kerumahtanggaan yang
bersifat rinci dan teknis. Ini adalah pembagian peran secara umum dan global
serta tidak menunjuk kepada sebuah pembagian yang bersifat praktis seperti
memasak, mencuci dan lain sebagainya.
Al Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apakah yang
dikerjakan Rasulullah saw di rumah?” Dia menjawab, “Beliau biasa dalam tugas
sehari-hari keluarganya –yakni melayani keluarganya— maka apabila telah datang
waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikan shalat” (riwayat Bukhari). Al
Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits itu terdapat anjuran untuk bersikap
tawadhu dan tidak sombong, serta menganjurkan laki-laki untuk melayani
isterinya”.
Dalam riwayat Ahmad, bahwa Aisyah ditanya, “Apakah
yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?” Dia menjawab, “Beliau adalah seorang
manusia biasa, membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya dan melayani
dirinya”. Demikianlah Rasulullah saw, beliau memberikan contoh keteladanan
dalam mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan, dilandasi oleh kecintaan beliau
terhadap seluruh keluarganya.
Bisakah kita deskripsikan, apa yang dimaksud dengan
“melayani keluarganya” sebagaimana disebutkan oleh Aisyah dalam hadits di atas?
Apakah para suami layak senantiasa meminta pelayanan penuh diri isteri dalam
rumah tangga, sementara sebaik-baik manusia, yaitu Rasulullah saw justru
mencontohkan melayani isteri dan keluarganya?
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menukilkan
riwayat Ahmad, bahwa Ali berkata kepada Fatimah, “Demi Allah, aku selalu
menimba air dari sumur sehingga dadaku terasa sakit”. Fatimah menjawab, “Dan
aku, demi Allah, memutar penggiling hingga kedua tanganku melepuh”.
Pernyataan Ali dan Fatimah di atas menunjukkan,
kedua belah pihak saling bekerja sama menyelesaikan pekerjaan kerumahtanggaan.
Mereka berdua telah bekerja sama dengan harmonis untuk menyelesaikan pekerjaan
praktis di rumah. Ali menimba air dari sumur, yang tentu saja sumur pada
waktu itu amat dalam, sedangkan Fatimah memutar penggiling untuk menumbuk
gandum. Keduanya adalah jenis pekerjaan “berat” yang memerlukan tenaga.
Pada kisah keluarga Asma’ binti Abu Bakar kita
menemukan sebuah sisi kehidupan keluarga sahabat Nabi, dimana Asma’ mengerjakan
seluruh pekerjaan kerumahtanggaan. Perhatikan penuturan Asma’ binti Abu Bakar
berikut:
“Saya dinikahi oleh Az Zubair, sedang dia tidak
mempunyai harta dan tidak mempunyai budak di muka bumi ini, dan tidak mempunyai
sesuatu kecuali unta pengangkut air dan kudanya. Maka sayalah yang memberi
makan kudanya, mengambil air, menjahit geribah (bejana tempat air), dan
mengadoni roti. Saya tidak dapat membuat roti dengan baik, dan
tetangga-tetanggaku dari kaum Anshar yang membuatkan roti, sedang mereka adalah
wanita-wanita yang jujur”
“Saya membawa biji-biji kurma di atas kepala dari
kebun Zubair yang diberi Rasulullah saw yang jaraknya sejauh duapertiga
farsakh. Maka pada suatu hari saya datang dengan membawa biji-bijian di atas
kepala, dan saya bertemu Rasulullah saw bersama dengan rombongan orang Anshar
lalu beliau memanggil saya kemudian berkata, “Ekh…” untuk menghentikan untanya
hendak memboncengkan saya di belakang beliau. Saya merasa malu berjalan bersama
kaum laki-laki dan saya ceritakan tentang Zubair dan kecemburuannya bahwa dia
adalah orang yang sangat pencemburu. Rasulullah saw mengetahui bahwa saya
merasa malu, maka beliau berlalu”.
Setelah Asma’ bertemu suaminya, ia ceritakan
pertemuan dengan Rasulullah saw dan rombongan tersebut, Az Zubair berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya engkau membawa biji-bijian itu lebih berat bagiku
daripada engkau naik kendaraan bersama beliau”. Asma’ berkata, “Setelah itu Abu
Bakar –bapakku—mengirimkan pelayan kepadaku sehingga aku tidak lagi mengurus kuda,
seakan-akan dia telah memerdekakanku” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dari kisah di atas, dapat kita ketahui bahwa seluruh
pekerjaan kerumahtanggaan dilaksanakan sendiri oleh Asma’. Ia mengadoni roti,
mengambil air, mengambil kurma dari kebun, bahkan memberi makan kuda Zubair.
Ketika mengomentari kisah Asma’ binti Abu Bakar yang melakukan semua pekerjaan
kerumahtanggaan di rumah suaminya tersebut, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari berkomentar, “Tetapi yang menjadikan Asma’ bersabar melakukan hal itu
ialah karena kesibukan suami dan ayahnya melaksanakan jihad dan sebagainya yang
diperintahkan dan ditegakkan oleh Nabi saw; dan mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk melaksanakan urusan rumah tangga sendiri, serta tidak
mempunyai kemampuan untuk mengambil pelayan”.
“Oleh karena itu,” lanjut Imam Al Hafizh,
“diserahkanlah urusan itu kepada isteri-isteri mereka, maka isteri-isteri
itulah yang menggantikan mereka mengurusi rumah tangga mereka agar dapat
berjuang secara optimal dalam membela Islam, disamping tradisinya sendiri tidak
menganggap yang demikian sebagai suatu cela”.
“Kisah ini,” lanjut Imam Al Hafizh, “telah dijadikan
dalil untuk menetapkan bahwa wanita harus melakukan semua pelayanan yang
dibutuhkan oleh suami, demikian pendapat Abu Tsaur. Akan tetapi ulama-ulama
lain mengatakan bahwa yang demikian itu bagi wanita bersifat suka rela, bukan
suatu keharusan, demikian pendapat Al Mahlab dan lain-lain. Namun yang jelas
peristiwa ini dan yang semacamnya terjadi dalam kondisi darurat sebagaimana
dijelaskan di muka. Oleh karena itu hukumnya tidak dapat diberlakukan bagi
orang yang kondisinya tidak seperti itu”.
“Telah dijelaskan pula bahwa Fatimah, penghulu para
wanita sedunia, mengadu karena tangannya melepuh akibat memutar penggiling,
lalu ia meminta pembantu kepada ayahnya (yakni Nabi saw), kemudian Nabi
menunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik, yaitu berdzikir kepada Allah.
Pendapat yang kuat ialah memberlakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan negeri
setempat, karena kebiasaan di satu negeri dalam hal ini berbeda dengan negeri
lain”, demikian Imam penjelasan Al Hafizh.
Sedangkan Imam Nawawi berpendapat, “Semua ini
termasuk kepatutan dan kelakuan yang dipraktikkan manusia, yaitu bahwa wanita
melayani suaminya dengan hal-hal yang disebutkan itu dan sebagainya. Membuat
roti, memasak, mencuci pakaian dan lain-lain, semua itu merupakan sumbangan dan
kebaikan wanita kepada suaminya, pergaulan yang bagus, pergaulan yang makruf,
yang tidak wajib sama sekali atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya
maka ia tidak berdosa”.
Ungkapan Imam Nawawi di atas dengan sangat jelas
memberikan sebuah perspektif yang adil, bahwa pekerjaan praktis dalam rumah
tangga bukanlah kewajiban bagi kaum wanita. Dengan demikian, membicarakan
pembagian peran antara suami dan isteri sangat diperlukan, dengan bisa
mempertimbangkan faktor kebiasaan masyarakat setempat sebagaimana komentar Imam
Al Hafizh.
Adz Dzahabi dalam kitab Al Kaba’ir dan Al
Haitami dalam kitab Az Zawajir menceritakan bahwa suatu ketika seorang
laki-laki mendatangi Umar ra untuk mengadukan perilaku isterinya. Ia menunggu
Umar di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba laki-laki tersebut mendengar isteri
Umar sedang memarahinya, dan Umar diam saja tidak menanggapi. Laki-laki itu
akhirnya pulang dan berkata dalam hatinya, “Jika keadaan Amirul Mukminin
seperti itu, lalu bagaimana dengan saya?”
Tidak lama kemudian Umar keluar dan melihatnya
berpaling. Umar memanggil laki-laki tersebut. “Apa keperluanmu?” tanya Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya saya datang untuk
mengadukan sikap dan perbuatan isteri saya kepada saya, namun saya mendengar
hal yang sama pada isteri anda, akhirnya saya pulang dan berkata (dalam hati):
Jika keadaan Amirul Mukminin seperti ini lalu bagaimana dengan saya?”
“Wahai saudaraku! Saya tetap sabar (atas
perbuatannya), karena memang itu kewajiban saya. Isteri sayalah yang memasakkan
makanan saya, memnbuatkan roti untuk saya, mencucikan pakaian, dan menyusui
anak saya, sedang semua itu bukanlah kewajibannya. Disamping itu hati saya
merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram). Karena itulah saya tetap
bersabar atas perbuatannya itu”, jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, isteri sayapun demikian”,
kata laki-laki tersebut.
“Karena itu, bersabarlah wahai saudaraku. Ini hanya
sebentar,” kata Umar.
Kisah di atas semakin memberikan sebuah perspektif
yang jelas dalam relasi suami dan isteri menyangkut pekerjaan kerumahtanggaan.
Dalam pandangan Umar bin Khathab, memasak makanan, membuat roti, mencuci baju
suami, bukanlah kewajiban isteri. Umar melihat isterinya telah melakukan banyak
kebaikan dengan melakukan kegiatan kerumahtanggaan untuk dirinya.
Tampak para ulama berbeda pendapat dalam memahami
pekerjaan kerumahtanggaan apakah merupakan kewajiban isteri ataukah bukan
kewajiban. Hal ini memberi petunjuk bahwa sesungguhnya Islam tidak memberi
ketetapan secara detail dan pasti dalam masalah teknis kerumahtanggaan seperti
memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Islam
menyerahkan penunaian kegiatan seperti kepada suami dan isteri, dengan
mempertimbangkan kemaslahatan di dalamnya.
Artinya, suami memerlukan ketrampilan praktis
–selain perasaan bertanggung jawab dan sense of belonging– dalam
pekerjaan kerumahtanggaan. Boleh saja pekerjaan itu dilaksanakan oleh para
isteri, akan tetapi hendaknya dipahami bahwa tidak ada ketentuan qath’i
yang mewajibkan para isteri melakukan seluruh kegiatan kerumahtanggaan
tersebut. Hendaknya disyurakan bersama antara suami dengan isteri agar
penunaian kegiatan tersebut bisa berjalan dengan baik tanpa ada pihak
yang dibebani dengan pekerjaan yang melebihi kemampuan dirinya.
Para suami perlu memiliki ketrampilan praktis dalam
melaksanakan kegiatan kerumahtanggaan, meskipun ia memiliki kemampuan untuk
membayar pelayan atau pembantu rumah tangga. Para suami bisa membersihkan
rumah, menata perlengkapan sehingga rapi, dan membagi tugas bersama isteri
dalam menyelesaikan urusan memasak, mencuci, menyeterika, dan lain sebagainya.
Tentu saja, yang lebih
penting, kesemuanya dibicarakan bersama antara suami dengan isteri. Apabila
suami memberikan ruangan keterbukaan, maka pembagian peran dalam menyelesaikan
pekerjaan praktis kerumahtanggaan tersebut bisa dibagi secara berkeadilan,
tanpa ada satu pihakpun yang merasa dizhalimi. Hasil musyawarah ini bisa dievaluasi
secara berkala untuk disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang selalu berubah
dari waktu ke waktu, sehingga kesepakatan tentang peran pun bisa berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar