Minggu, 09 September 2012

URGENSI PENGEMBANGAN SDM BERBASIS KOMPETENSI


Competence is an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job situation. Human resources - based competence is urgently needed in business competitive era.   So, employee development programe became the most challenge for each organization to increase performance organization.

Key Word      : human resources development, competence

Pendahuluan
Pengembangan SDM mempunyai cakupan makna yang luas. Secara umum pengembangan SDM merupakan suatu proses merekayasa perilaku kerja karyawan sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan kinerja yang optimal . Rekayasa perilaku mengandung makna tersirat bahwa perilaku sesungguhnya dapat diubah dan diperbaiki, dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik.

Pengembangan SDM yang dilaksanakan setidaknya didasarkan pada kesepakatan pemahaman sbb: ( Prasetya, 2002). Pertama, Pengembangan SDM dapat dilakukan baik melalui jalur  diklat maupun jalur non diklat. Jalur diklat misalnya berbentuk kegiatan seminar, lokakarya, dan lain-lain. Jalur non diklat misalnya dapat berbentuk promosi jabatan, pemberian bonus dan insentif, teguran dan hukuman, dan lain-lain.
Kedua, Pengembangan SDM tidak harus menunjukkan hasil yang segera dapat diamati dan dinikmati. Pengembangan SDM cenderung membutuhkan waktu yang panjang. Dalam batas tertentu, pengembangan karyawan memang bisa menghasilkan sesuatu yang nyata dalam waktu yang segera. Ketiga, Pengembangan SDM adalah sebuah investasi, yang cepat atau lambat akan menghasilkan buah, dan jangan  dianggap sebagai pengeluaran dan atau pemborosan.
Seiring dengan tuntutan kompetisi bisnis global, khususnya dalam mengelola sumber daya manusia, trend dewasa ini menunjukkan bahwa kinerja karyawan dapat optimal apabila karyawan tersebut memiliki kompetensi yang handal di bidangnya. Kehandalan kompetensi SDM sebenarnya dapat dibentuk, dimana pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan organisasi  dalam  me-manage anggotanya ke dalam difersifikasi kompetensi individu , yaitu : 1 ) kompetensi pencapaian tujuan  2) kompetensi pemecahan masalah  3 ) kompetensi interaksi sesama  4) kompetensi teamwork (Husaini, 1999).
Dengan demikian, sinergi kompetensi masing-masing individu secara simultan akan mengoptimalkan performance organisasi secara keseluruhan. Pada akhirnya, peranan kompetensi SDM sangat menentukan kemajuan organisasi dalam menghadapi berbagai  perubahan. Apa sebenarnya esensi dari kompetensi ? Mengapa perlu dikembangkan SDM berbasis kompetensi  ?. Bagaimana organisasi dapat menyiapkan kompetensi SDM ini? Apa kompetensi masa depan yang dibutuhkan ? Tulisan ini berusaha untuk mengupas masalah tersebut


Apa kompetensi SDM itu?
Menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia dari Prof. Drs. S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, kompetensi berarti kemampuan, atau kecakapan. Kupper  dan Palthe (1995) menjelaskan “ competencies as ability  of a student /  worker  enabling him to accomplish tasks adequately , to find solution and to realize them in work situation. Theses qualifications should be expressed in term of knowledge, skills, and attitude ”.
Berbicara mengenai kompetensi SDM dalam arti sempit, tidaklah dapat dilepaskan dari persyaratan pekerjaan yang ada. Artinya, perusahaan haruslah mengetahui terlebih dahulu bagaimana pekerjaan itu harus dilaksanakan dan membutuhkan kompetensi apa dari para pelaksana pekerjaannya. Kompetensi ini bisa meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku karyawan.
Dalam arti luas, kompetensi ini akan terkait dengan strategi organisasi dan pengertian kompetensi ini dapat dipadukan dengan soft skill, hard skill, social skill, dan mental skill. Hardskill mencerminkan pengetahuan dan keterampilan fisik SDM, softskill menunjukkan intuisi, kepekaan SDM; social skill menunjukkan keterampilan dalam hubungan sosial SDM, mental skill menunjukkan ketahanan mental SDM.
Mengapa organisasi harus peduli dengan kompetensi SDM-nya ?. Organisasi hidup di dalam lingkungan yang secara terus-menerus mempengaruhi keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Untuk hal ini, organisasi haruslah senantiasa melakukan upaya-upaya yang dapat memperkokoh eksistensinya. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan selalu memberikan nilai tambah bagi lingkungannya melalui penyampaian berbagai macam ouput yang dihasilkannya. Upaya ini hanya dimungkinkan jika organisasi memiliki SDM yang kompeten. 
Realitanya, kompetensi SDM yang ada di dalam organisasi tidaklah selalu sesuai dengan apa yang dituntut untuk keberhasilan sebuah pekerjaan. Memang tidak dapat dimungkiri, ada juga organisasi yang cukup beruntung karena secara tidak sengaja memiliki SDM yang kompeten, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap mental dan sosial yang sangat mendukung pencapaian visi dan misi organisasi, namun seringkali justru hal ini yang menjadi persoalan bagi organisasi.

Kompetensi  dalam Tinjauan Historis.
Konsep kompetensi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel, and Fitt, dalam Soetjipto,2002) gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970.
Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan. Unsur tersebut sering menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita dan orang yang berasal dari strata sosio ekonomi yang rendah.
Temuan tersebut telah mendorong dilakukan penelitian terhadap variabel kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu dan tidak bias dikarenakan faktor rasial, jender dan sosio ekonomi. Oleh sebab itu beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
1.              Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam pekerjaannya dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini perlu diidentifikasikan karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan tersebut.
2.       Mengidentifikasikan pola pikir dan perilaku individu yang berhasil. Pengukuran kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi yang terbuka ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden seperti test “multiple choice” (pilihan ganda) yang meminta individu memilih alternatif jawaban. Predikator yang terbaik atas apa yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah mengetahui apa yang dipikirkan oleh individu secara spontan dalam situasi yang tidak terstruktur.

Jika cara tradisional menggunakan pengukuran sikap tidak dapat memprediksi kinerja, lalu apa yang dapat dilakukan ? Menurut Mc. Clelland’s yang harus dilakukan adalah : Pertama, mencari individu yang memiliki kinerja yang tinggi, dan membandingkannya dengan individu yang berkinerja rendah. Kedua, Mc. Clelland’s dan Dailey mengembangkan teknik Behavioral Event Interview (BEI) yang menggabungkan teknik seleksi sebelumnya (critical incident method) dalam teknik yang baru.
Teknik BEI meminta individu-individu untuk memikirkan beberapa aspek penting atas keadaan yang berkaitan dengan pekerjaannya sehingga menimbulkan hasil yang baik atau buruk. Kemudian keadaan tersebut diuraikan secara rinci sehingga menjawab pertanyaan sebagai berikut :
·         What led up to the situation
·         Who was involved
·         What did you think about fell, want to have happen in the situation
·         What did you do
·         What was the outcome

Ketiga, Mc. Clellands menganalisis transkip BEI atas informasi tentang keberhasilan dan ketidakberhasilan para pimpinan untuk mengidentifikasi karakteristik yang membedakan kedua sampel tersebut. Analisis biasanya lebih ditekankan kepada perilaku yang menunjukkan kinerja yang tinggi ketimbang yang rata-rata. Perbedaan kedua karakteristik tersebut diterjemahkan ke dalam tujuan dan definisi sistem scoring yang dapat dipercaya oleh masing-masing pengamat.
Transkrip BEI diberikan skor menurut definisi tersebut dengan menggunakan Content Analysis of Verbal Expression (CAVE) untuk mengukur motivasi. Melalui CAVE para peneliti dapat menghitung dan mengetes perbedaan secara statistik atas karakteristik yang ditunjukkan oleh para individu yang berkinerja tinggi dan rendah dalam berbagai pekerjaan dan jabatan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semua jenis kompetensi yang bersifat non-akademik seperti kemampuan menghasikan ide-ide yang inovatif, management skills, kecepatan mempelajari jaringan kerja, dan sebagainya berhasil memprediksi kinerja individu dalam pekerjaannya dan tidak berbeda secara signifikan bila ditinjau dari aspek ras, jender dan sosio ekonomi status.
Adapun esensi dari teori Mc. Clelland tentang pendekatan penilaian kompetensi terhadap job analysis bahwa penelitiannya lebih menekankan kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan dan berkinerja baik, dan mendefinisikan job berdasarkan karakteristik dan perilaku orang-orang tersebut, ketimbang menggunakan pendekatan tradisional dengan menganalisis unsur yang ada dalam job tersebut.
Misalnya, kebanyakan “Management Jobs” lebih menfokuskan kepada perencanaan dan pengorganisasian, sehingga pertanyaan yang menarik adalah apa yang menyebabkan seseorang dapat merencanakan dan mengorganisasikan secara baik dan efisien ? . Penelitian tentang kompetensi menunjukkan bahwa ada 2 (dua) yang mendasari kompetensi yang berkaitan dengan perencanaan dan pengorganisasian yaitu motivasi dan berfikir analitik.

Karakteristik Kompetensi 

Mitrani et.al, menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi  (Soetjipto, 2002) , yaitu :

  1. “Motives” adalah sesuatu dimana seseorang secara konsisten berfikir sehingga ia melakukan tindakan. Misalnya: orang memiliki motivasi berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberi tantangan pada dirinya, dan bertanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan “feedback” untuk memperbaiki dirinya.
  2. “Traits” adalah watak yang membuat orang untuk berpilaku atau bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu. Misalnya percaya diri (self-confidence), kontrol diri (self-control), stress resistance, atau hardiness (ketabahan/daya tahan).
  3. “Self-Concept” adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui bagaimana value (nilai) yang dimiliki seseorang, apa yang menarik bagi seseorang melakukan sesuatu. Seseorang yang dinilai menjadi “leader” seyogyanya memiliki perilaku kepemimpinan sehingga perlu adanya tes tentang leadership ability.
  4. “Knowledge” adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang kompleks. Skor atas tes pengetahuan sering gagal untuk memprediksi kinerja SDM karena skor tersebut tidak berhasil mengukur pengetahuan dan keahlian seperti apa seharusnya dilakukan dalam pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
  5. “Skill” adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara pisik maupun mental. Misalnya, seorang dokter gigi secara pisik mempunyai keahlian untuk mencabut dan menambal gigi tanpa harus merusak saraf. Selain itu kemampuan seseorang programmer komputer untuk mengorganisasikan 50.000 kode dalam logika yang sekuensial.

Bagaimana organisasi mengelola kompetensi SDM-nya?
Pengelolaan kompetensi SDM dimulai dari segi perencanaan, pengorganisasian, sampai dengan evaluasi dapat dijelaskan sbb (Talim,2004) :
Pertama, merencanakan kompetensi SDM. Di sini, organisasi harus berpijak dari visi dan misi perusahaan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam strategi fungsional yang ada. Maksudnya, visi dan misi ini diterjemahkan ke dalam strategi pengelolaan SDM-nya yang kemudian diterjemahkan menjadi tuntutan kompetensi SDM yang harus dipenuhi.
Misalnya Organisasi mempunyai visi untuk menjadi sebuah perusahaan kelas dunia, maka dalam strategi sumber daya manusianya haruslah mendukung pengembangan kompetensi yang dapat membantu pencapaian visi menjadi kelas dunia tadi. Mulai dari penerimaan karyawan baru, haruslah disertai dengan seperangkat persyaratan yang dapat membantu tersedianya SDM dengan kualitas kelas dunia, program-program pengembangan SDM haruslah juga mencerminkan arah strategi tersedianya SDM kelas dunia, sampai dengan sistem kompensasi, karier, dan pemeliharaan SDM-nya semuanya haruslah mencerminkan arah strategi perusahaan.
Kedua, pengorganisasian kompetensi SDM. Setelah peta kompetensi diketahui, organisasi harus melakukan pengelompokan atas kompetensi tersebut. Upaya pengelompokan ini bisa dilakukan melalui penentuan bidang-bidang kompetensi inti yang merupakan tonggak organisasi, maupun bidang kompetensi pendukung. Tentunya, hal ini akan berlainan untuk organisasi yang berbeda. Melalui pengorganisasian ini organisasi akan lebih mudah di dalam upaya pengembangan kompetensi lebih jauh.
Ketiga, pengembangan kompetensi. Upaya ini dimulai dengan penilaian terhadap kompetensi yang saat ini sudah dimiliki oleh SDM yang ada. Kemudian dibandingkan dengan peta kompetensi tadi sehingga dapat diketahui gap antara kompetensi yang seharusnya dimiliki dan yang diharapkan. Berangkat dari kondisi ini, selanjutnya organisasi melakukan berbagai uapaya pembangunan dan pengembangan kompetensi SDM sehingga peta kompetensi tadi dapat terisi dengan baik.
Keempat, organisasi melakukan evaluasi terhadap kompetensi yang sudah dibangun dan dikembangkan tadi, untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya yang dilakukan telah mencapai sasaran peta kompetensi yang disusun di awal. Upaya evaluasi ini haruslah senantiasa memperhatikan perkembangan situasi yang ada sehingga apabila diperlukan organisasi harus juga melakukan berbagai penyesuaian baik terhadap peta kompetensi maupun pengembangan kompetensinya.


Meningkatkan Kompetensi
Dalam meningkatkan kompetensi, terdapat dua tantangan utama yang harus diperhatikan : pertama, kompetensi harus berjalan dengan strategi bisnis. Kedua, kompetensi perlu diciptakan melalui lebih dari satu mekanisme. Dalam hal ini, ada lima cara untuk meningkatkan kompetensi : buy, build, borrow, bounce, dan bind. (Ulrich, 1998)
·      Buy
Cara ini dilakukan dengan mengganti karyawan yang lama dengan yang baru, yang memiliki kualitas lebih baik. Stratgei buy disini mencakup seleksi dan staffing mulai dari entry level sampai officer level. Metode ini akan berjalan baik bila bakatnya tersedia dan dapat diakses, selain itu metode ini memiliki resiko kegagalan yang besar. Perusahaan kemungkinan tidak menemukan bakat di luar perusahaan lebih baik atau lebih qualified dari bakat di dalam perusahaan. Dan jika bakat eksternal tidak dapat berintegrasi dengan perusahaan, kegagalan akan terjadi.

·      Build
Investai dilakukan terhadap para karyawan untuk meningkatkan kualitas mereka menjadi lebih baik. Motorola dan General Electric melakukan investasi yang sangat besar dalam membantu karyawannya mempelajari teknik baru dan ketrampilan manajerial. Sebagaimana pembelajaran dalam bantuk program latihan formal, namun sebagian besar dalam bentuk on-the-job experience. Strategi build ini akan berjalan baik jika manajer senior manjamin bahwa pengembangan lebih dari sekedar pelatihan akademik, jika pelatihan didasarkan pada hasil dan bukan pada teori, jika pembelajaran sistmatik dari pengalaman kerja terjadi. Resiko dari penerapan strategi ini adalah menghabiskan dana sangat besar dan waktu untuk kepentingan pelatihan.

·      Borrow
Dalam strategi ini, perusahaan mencari keluar sumber daya manusia yang mampu memberikan ide/gagasan, kerangka kerja, dan alat untuk menjadikan perusahaan lebih kuat. Penggunaan konsultan maupun partner yang efektif dimungkinkan untuk membagi pengetahuan, menciptakan pengetahuan baru, dan desain kerja. Banyak perusahaan sedang belajar bagaimana menggunakan konsultan dan bukan tergantung pada mereka. Strategi ini mensyaratkan adaptasi model dari konsultan dan bukan adopsi, karena setiap perusahaan memiliki cara yang berbeda untuk mengaplikasikan gagasan tersebut. Cara borrow ini juga memiliki resiko, yaitu adanya kemungkinan investasi yang sangat besar namun dengan return yang kecil. Selain itu, adanya kemungkinan perusahaan akan menjadi tergantung pada konsultan tanpa adanya transfer pengetahuan, serta penerapan metode dan gagasan tanpa adaptasi.

·      Bounce
Perusahaan harus mengeluarkan karyawannya yang gagal melakukan tugas standar. Karyawan yang tetap bekerja maupun yang dikeluarkan harus memahami mengapa dan apa yang diharapkan dari mereka. Proses yang fair harus memenuhi persyaratan hukum. Resiko cara ini adalah jika dalam pengambilan keputusan lebih didasarkan pada persepsi dan bukan fakta, maka ada kemungkinan perusahaan mengalami kerugian dengan hilangnya karyawannya yang terbaik, selain itu kredibilitas manajemen akan turun sebagai akibatnya.

·      Bind
Mengikat karyawan merupakan tindakan yang kritikal pada semua tingkat. Menjaga manajer senior yang memiliki visi, arahan, dan kompetensi sangat penting, dan menahan para teknikal, operasional, dan pekerja paruh wkatu juga merupakan hal yang penting karena investasi untuk membangun mereka memakan waktu yang lama. Perusahaan yang tidak menerapkan metode ini, meskipun telah menerapkan metode buy dan build, akan menciptakan intellectual capital bagi pesaing.

Kompetensi yang Dibutuhkan untuk Masa Depan
Kompetensi apa yang perlu dipersiapkan untuk memenuhi tantangan baru di masa depan  ? Dari pemikiran para ahli dapat diidentifikasi beberapa pokok pikiran berikut ini tentang kualitas yang perlu dimiliki seseorang pada tingkat eksekutif, manajer, dan karyawan.

Tingkat Eksekutif

Pada tingkat eksekutif diperlukan kompensasi dalam bidang (1) strategic thingking; (2) change leadership dan (3) relationship management. Strategic thingking adalah kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan lingkungan yang begitu cepat, melihat peluang pasar, ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat mengidentifikasikan “strategic response” secara optimum.
Aspek change leadership adalah kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan strategi perubahan dapat ditransformasikan kepada pegawai. Pemahaman atas visi organisasi oleh para karyawan akan mengakibatkan motivasi dan komitmen sehingga karyawan dapat bertindak sebagai sponsor inovasi dan “entrepreneurship” terutama dalam mengalokasikan sumber daya organisasi sebaik mungkin untuk menuju kepada proses perubahan.
Sedangkan kompetensi relationship management adalah kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan pihak lain. Kerjasama dengan pihak lain sangat dibutuhkan bagi keberhasilan organisasi.

Tingkat Manajer

Pada tingkat manajer, paling tidak diperlukan aspek-aspek kompetensi seperti : fleksibilitas, change implementation, interpersonal understanding and emprowering.
Aspek fleksibilitas adalah kemampuan merubah struktur dan pres manajerial; apabila strategi perubahan organisasi diperlukan untuk efektifitas pelaksanaan tugas organisasi. Dimensi “interpersonal understanding” adalah kemampuan untuk memahami nilai dari berbagai tipe manusia. Aspek pemberdayaan (empowerment) adalah kemampun berbagai informasi, menyampaikan ide-ide oleh bawahan, mengembangkan pengembangan karyawan, mendelegasikan tanggung jawab, memberikan saran umpan balik, menyatakan harapan-harapan yang positif untuk bawahan dan memberikan reward bagi peningkatan termotivasi dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Adapun dimensi “team facilitation” adalah kemampuan untuk menyatukan orang untuk bekerja sama secara efektif dalam mencapai tujuan bersama; termasuk dalam hal ini adalah memberikan kesempatan setiap orang untuk berpartisipasi dan mengatasi konflik.
Dimensi “portability” adalah kemampuan untuk beradaptasi dan berfungsi secara efektif dengan lingkungan luar negeri sehingga manajer harus ‘portabel’ terhadap posisi-posisi yang ada di negara manapun.

Tingkat Karyawan

Pada tingkat karyawan diperlukan kualitas kompetensi seperti fleksibilitas; kompetensi menggunakan dan mencari berita, motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi berprestasi, motivasi kerja di bawah tekanan waktu; kolaborasi, dan orientasi pelayanan kepada pelanggan.
Dimensi fleksibilitas adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasme untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal.
Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi; perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dan produktifitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tantangan kompetensi.
Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi fleksibilitas, motivasi berprestasi, menahan stress dan komitmen organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas. Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada yang lain, pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.
Sedangkan dimensi yang terakhir untuk karyawan adalah keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam organisasi agar dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.

Kesimpulan

Pengembangan SDM merupakan sebuah investasi stratejik berjangka panjang dan berdimensi luas. Oleh karena itu memerlukan kesatupaduan langkah dan kemauan dari pimpinan sebagai penentu kebijakan dan karyawan sebagai subjek pengembangan. Pengembangan kompetensi SDM yang bersifat   soft skill, hard skill, social skill, maupun mental skill, sudah menjadi tuntutan yang tidak bisa terelelakkan  bagi   organisasi di era kompetisi global untuk menunjang performance individual maupun organisasional.

Daftar Pustaka

  1. Huseini, Martani (1999), Mencermati Misteri Globalisasi : Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based,  FISIP UI,  Jakarta.
  2. Kupper, H.A.E & Arnold A.W. van Wulfften Palthe (1995), Competence Based-Curriculum Development, Experiences in Agri Chain Management in Netherland and China, Capstone Publishing, Oxford.
  3. Prasetya, Irawan, et al, (2002), Manajemen Sumber Daya Manusia, STIA-LAN Press, Jakarta
  4. Soetjipto , Budi W, et al, (2002), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.
  5. Talim, Banowati, (2004), Solusi Proaktif Permasalahan SDM di Indonesia, Pikiran Rakyat tanggal 21 Desember 2004.
  6. Ulrich, Dave, (1998), Intellectual Capital = Competence x Commitment, Sloan Management Review

Tidak ada komentar:

Posting Komentar