Belajar di perguruan tinggi merupakan
pilihan strategik untuk mencapai tujuan individual bagi mereka yang menyatakan
diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut. Kesenjangan presepsi dan
pemahaman penyelenggara pendidikan, dosen dan mahasiswa mengenai makna belajar
di perguruan tinggi dapat menyebabkan proses belajar bersifat disfungsional.
Pendahuluan
Belajar merupakan hak setiap orang. Akan tetapi,
kegiatan belajar di perguruan tinggi
merupakan suatu hal yang istimewa (Privilege),
karena hanya yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar
di lembaga pendidikan tersebut. Privilege yang melekat tidak hanya terletak pada sarana fisik dan
sumber daya manusia yang disediakan,
tetapi juga pada pengakuan secara formal bahwa seseorang telah menjalani
kegiatan belajar dan pelatihan tertentu.
Dengan pengakuan tersebut, harapannya adalah bahwa
seseorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai
wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai
dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan
pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional.
Yang perlu dicatat adalah bahwa belajar merupakan
kegiatan individual, kegiatan yang sengaja dipilih secara sadar karena
seseorang mempunyai tujuan individual tertentu. Belajar di perguruan tinggi
merupakan suatu pilihan di antara berbagai alternatif strategik untuk mencapai
tujuan individual. Kesadaran mengenai hal ini akan sangat menentukan sikap dan
pandangan belajar di perguruan tinggi yang pada akhirnya akan menentukan
bagaimana seseorang belajar di perguruan tinggi. Karena seseorang mendapat privilege
belajar di perguruan tinggi, seseorang dituntut untuk berbuat atau bertindak
lebih dari mereka yang tidak mendapatkan privilege tersebut.
Mereka yang belajar di perguruan tinggi dituntut
tidak hanya mempunyai ketrampilan teknis tetapi dituntut tidak hanya mempunyai
keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir serta sikap
mental dan kepibadian tertentu sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas
dalam menghadapi masalah-masalah dalam dunia nyata (masyarakat). Kalau mereka
yang mempunyai privilige akhirnya berbuat atau bertindak (termasuk cara
belajarnya) seperti mereka yang tidak belajar melalui lembaga formal maka
mereka yang berstatus mahasiswa sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang belajar tidak
melalui lembaga pendidikan formal kecuali bahwa mereka yang belajar di
perguruan tinggi mempunyai kartu mahasiswa dan dengan demikian dianggap
statusnya lebih tinggi.
Bila belajar di perguruan tinggi tidak dapat
mengubah wawasan dan perilaku akademik atau sosial, pada saat mahasiswa lulus dari
perguruan tinggi barangkali mereka hanya bertambah keterampilan dan atributnya
(misalnya gelar) tetapi mereka sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang
memperoleh keterampilan yang sama tanpa melalui pendidikan formal.
Bila keadaan ini terjadi, perguruan tinggi akan
menjadi sekadar tempat antre untuk memperoleh tiket masuk ke arena belajar yang
sesungguhnya yaitu praktik di dunia nyata. Akibatnya, kontribusi pendidikan
tinggi dalam mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik dan maju akan
menjadi kecil walaupun mungkin tujuan individual mahasiswa yang sempit dan
jangka pendek tercapai.
Tujuan Belajar
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang
dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah
tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman
belajar (knowledge and learning experinces) dan yang kedua adalah
tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa). Proses belajar-mengajar
mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga
pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional.Kedua tujuan di atas
kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun
oleh mahasiswa sehingga kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan
kegiatan belajar dalam suatu kursus atau pendidikan keterampilan. Anggaplah
sekarang bahwa lembaga pendidikan di samping bertujuan untuk memberi layanan
pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka yang membutuhkan pengetahuan dan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan individualnya juga bertujuan untuk
mengemban misi pendidikan nasional.
Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan
individual seseorang memasuki perguruan tinggi ?. Hal inilah yang acap kali
sulit diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk
belajar di perguruan tinggi.
Gejala yang sering dirasakan adalah
belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial daripada kebutuhan
pengetahuan dan pengalaman belajar. Kebutuhan sosial ini bahkan sering muncul
bukan dari diri mereka yang belajar di perguruan tinggi tetapi lebih merupakan
kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua). Akibatnya belajar dianggap
sebagai suatu beban dan penderitaan dan bukan dianggap sebagai kebutuhan untuk
pengembangan dan pematangan diri.
Kesalahan presepsi seperti ini akan menghasilkan
suatu sikap dan semangat belajar yang jauh dari harapan. Keadaan dapat menjadi
parah lagi kalau ternyata perguruan tinggi juga hanya memberikan pengetahuan
yang bersifat teknis dan keterampilan tanpa memberi tantangan kepada mahasiswa
untuk berfikir konseptual.
Aspek Belajar
Apapun tujuan yang ingin dicapai melalui belajar
di perguruan tinggi, akhirnya tujuan tersebut harus dicapai dalam bentuk unit
kegiatan belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan bentuk interaksi
antara dosen, mahasiswa dan pengetahuan/keterampilan. Pemahaman dan persepsi
mengenai hubungan tiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses
belajar. Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan
nonformal Namun hal yang perlu dicatat adalah bahwa kuliah bukan satu-satunya
kegiatan belajar. Berikut ini adalah beberapa aspek yang berkaitan dengan
kegiatan konkret belajar. Pemahaman terhadap hal ini akan mempengaruhi sikap
dan semangat mahasiswa dalam menjalani proses belajar.
Makna Kuliah.
Arti kuliah pada umumnya diperoleh mahasiswa bukan
karena kesadarannya tentang arti kuliah yang sebenarnya tetapi karena
pengalaman mahasiswa dalam mengikuti kuliah. Kesan yang keliru akan
mengakibatkan adanya kesenjangan persepsi tujuan antara lembaga pendidikan,
dosen dan mahasiswa sehingga proses belajar-mengajar yang efektif menjadi
terhambat.
Situasi I : Kuliah dan dosen dianggap
merupakan sumber pengetahuan utama, sehingga catatan kuliah merupakan sejata
yang ampuh. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa
karena persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak
sadar telah menciptakan kondisi demikian. Akibatnya, mahasiswa kebanyakan
mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk, dengar dan catat (D3C). Catatan
kuliah dianggap sumber pengetahuan. Kerena pendekatan pengendalian proses
belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang lebih
merasa nyaman menjadi “mesin dengar kopi”. Kalau tujuan individual akan
dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredefinisi dan arti kuliah yang
telah diredefinisi harus dilaksanakan secara konsekuen.
Situasi II : merupakan redefinisi arti kuliah dan
proses belajar. Dengan konsep ini, pengetahuan dan keterampilan merupakan
barang bebas (walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya). Mahasiswa
dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dosen
berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang
dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Wawasan dan pengalaman
dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar dan karena
pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset / penelitian yang
dilaksanakannya. Dengan demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk
mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa terhadap pengetahuan yang bebas tersebut.
Fakta yang tidak dapat
dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan
terbatas. Di lain pihak, cakupan materi dan kedalaman pemahaman tidak dapat
diberikan secara seketika dalam waktu yang pendek tersebut. Masalahnya adalah
apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas
tersebut. Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat
melakukan sendiri di luar jam temu kelas maka kelas tersebut sama sekali tidak
terjadi proses belajar yang sesungguhnya; yang sesungguhnya terjadi adalah
pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui proses dengar kopi
(proses yang jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi). Keefektifan
temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman dan
konsepsi dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian
dapat menimbulkan frustasi di kedua belah pihak.
Bila
pada awal temu kelas mahasiswa telah menyiapkan diri sebelumnya maka mahasiswa
telah mempunyai pengetahuan awal yang cukup memadai. Dengan demikian fungsi
kelas akan menjadi sarana untuk lebih memahami apa yang sebelumnya meragukan.
Dengan penjelasan seperlunya dari dosen, mahasiswa akan dengan segera dan mudah
menangkap apa yang dijelaskan atau yang didiskusi di kelas. Tingkat pemahaman
akan meningkat dengan cukup pesat karena penjelasan dosen fungsinya hanyalah
untuk memperkuat apa yang sudah dialami mahasiswa. Bila mahasiswa tidak
menyiapkan diri dan masuk kelas dalam keadaan kosong pikirannya maka pemahaman
akan menjadi terhambat atau bahkan tidak ada proses pemahaman sama sekali
karena dosen tidak lagi menjelaskan segala masalah secara rinci dan runtut. Hal
ini ditunjukkan oleh grafik pemahaman yang terputus-putus.
Setelah temu kelas selesai, tentu saja pemahaman akan menjadi berkurang
karena berlalunya waktu. Akan tetapi, penurunan pemahaman pada mahasiswa yang
sebelumnya telah belajar tidak akan securam penurunan pemahaman mahasiswa yang
tidak belajar sama sekali. Hal ini disebabkan mahasiswa belajar lagi untuk
pemahaman topik berikutnya sementara itu topik yang sebelumnya dipelajari ikut
menjadi lebih diperkuat lagi oleh materi berikut yang mengacu pada materi
sebelumnya. Mahasiswa yang masuk kelas dengan pikiran kosong akan memperoleh
pemahaman yang rendah dan samar-samar tersebut akan segera hilang. Topik
berikutnya, yang memerlukan pemahaman topik sebelumnya, akan menjadi lebih
sulit untuk dipahaminya dan akhirnya mahasiswa cenderung untuk menghafal saja
topik tanpa penalaran dan pemahaman.
Konsepsi Tentang Dosen.
Telah disebutkan bahwa dalam proses belajar
mengajar yang semestinya, dosen bukan merupakan sumber pengetahuan utama
bahkan hanya dijadikan sebagai satu-satunya sumber. Dalam proses belajar
mengajar yang efektif, dosen semestinya harus dipandang sebagai seorang manajer
kelas/ fasilitator. Sumber pengetahuan utama adalah buku, perpustakaan, artikel
dalam majalah, hasil penelitian, dan media cetak atau audio-visual lainnya
(termasuk pengalaman dosen tentunya).
Sekali lagi, dosen mendapat tugas untuk memegang
suatu kelas karena yang bersangkutan telah mengalami proses belajar tertentu
dan telah memperoleh pengalaman-pengalaman berharga (termasuk pengalaman
praktik dan penelitian) yang mungkin perlu disampaikan kepada mereka yang akan
menjalani proses belajar yang sama. Dengan demikian mahasiswa yang akan
menjalani dan mengalami proses yang sama akan memperoleh pengetahuan yang sama
(atau bahkan diharapkan lebih) dengan cara yang lebih efektif dan tidak perlu
membuat kesalahan yang sama.
Jadi, dosen harus
dipandang sebagai manajer kelas dan merupakan nara sumber (resource person) proses
belajar. Dalam teknologi pendidikan, dikatakan bahwa dosen bertindak sebagai director,
facilitator, motivator, dan evaluator proses belajar. Peran dosen sebagai manajer kelas dan nara sumber mata kuliah. Dosen
menetapkan sumber pengetahuan yang harus dipelajari secara mandiri oleh
mahasiswa dalam bentuk silabus atau program belajar, mahasiswa menjalani
program belajar tersebut dan dosen mengandalikan proses belajar mahasiswa.
Kemandirian dalam Belajar.
Telah disebutkan di atas bahwa belajar sebenarnya
merupakan kegiatan individual dan berlanjutan. Di mata mahasiswa, proses
belajar mengajar yang sekarang berjalan pada umumnya belum dipandang sebagai
proses belajar mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketidakmampuan
mahasiswa dalam mengungkapkan gagasan dan menemukan suatu gagasan atau masalah
untuk bahan penulisan skripsi atau tulisan lainnya.Kemandirian
belajar sering juga menjadi terhambat karena aspek berpikir dan bernalar banyak
diambil alih oleh dosen, baik pada tahun pertama maupun tahun-tahun berikutnya
sampai tingkat akhir. Banyak kegiatan yang sebenarnya merupakan kegiatan
mandiri (baik thinking maupun doing) diambil alih oleh instruktur/dosen. Ibarat
memakan buah apel, dosen mengunyahkan buah tersebut sampai siap ditelan dan
mahasiswa tinggal menelannya.
Proses semacam
ini sebenarnya merupakan proses pembebalan dan bukan proses penajaman pikiran.
Mahasiswa yang sudah terbiasa
menelan pengetahuan yang telah dikunyahkan dosen tanpa masalah dan kontroversi
(kebetulan dosen juga senang demikian) tiba-tiba pada tahun terakhir (akhir
tahun keempat) mahasiswa harus mengunyah sendiri pengetahuan dan mengajukan
masalah untuk karya tulisnya (skripsi).
Jelas dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.
Mahasiswa tidak mampu mengidentifikasi masalah yang menjadi perhatiannya yang
pantas untuk diangkat menjadi judul skripsi. Kemandirian
belajar adalah hasil suatu proses dan pengalaman belajar itu sendiri. kalau
proses belajar tidak memberi pengalaman bahwa belajar merupakan suatu kegiatan
individual maka perilaku mandiri dalam belajar akan tetap merupakan impian.
Masalahnya adalah kapan pengalaman kemandirian
harus ditanamkan kepada peserta didik atau mahasiswa. Kapan mahasiswa harus
mempunyai kesan yang benar bahwa belajar di perguruan tinggi sangat berbeda
dengan belajar di sekolah menengah atau lembaga kursus.
Kemandirian belajar
harus dimulai sejak pertama kali mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Hal ini dimungkinkan kalau tedapat buku
pegangan yang memadai yang dapat dijadikan pegangan bersama antara dosen dan
mahasiswa. Sekali lagi, perilaku mandiri akan terbentuk kalau kelas tidak diisi
dengan hal-hal yang sebenarnya mahasiswa mampu untuk melakukan sendiri dengan
petunjuk seperlunya dari dosen.
Di samping itu, mahasiswa harus punya
keyakinan bahwa dosen bukan sumbar pengetahuan utama. Sumber pengetahuan utama
tersedia di perpustakaan dan di media cetak atau audio-visual lainnya. Kemandirian
merupakan sikap yang terbentuk akibat rancangan proses belajar yang cermat.
Sikap/perilaku mandiri merupakan sikap yang sengaja dibentuk dan bukan sesuatu
yang datang dengan sendirinya.
Konsep memiliki Buku,
Buku merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari belajar. Buku merupakan sumber pengetahuan. Hal yang sering kurang
disadari mahasiswa adalah bahwa memiliki buku lain sekali artinya dengan
memiliki kertas bergambar huruf. Lebih menarik lagi adalah bahwa memiliki
buku belum merupakan suatu sikap atau budaya kita. kurangnya minat untuk
memiliki buku mungkin timbul karena anggapan bahwa dosen dan kuliah merupakan
sumber pengetahuan utama.
Buku adalah sumber
pengetahuan yang harus dibaca, ditulis, dicorat-coret, ditempeli artikel dan
“diajak berdialog” sehingga buku tersebut akan menjadi bagian dari pribadi
seseorang. Kalau buku yang dibeli tetap bersih dan tidak pernah diajak dialog
maka seseorang sebenarnya hanya memiliki kertas bergambar garis dan huruf dan
seandainya buku tersebut hilang maka tidak ada rasa kehilangan apapun karena
buku yang sama dapat segera dibeli di toko buku.
Catatan Akhir
Banyak jalan menuju sukses . Perguruan tinggi memberi jalan menuju sukses pribadi
sekaligus sukses bagi masyarakat. Perilaku mahasiswa di perguruan tinggi akan
mewarnai berbagai sukses pribadi seseorang dan juga sukses masyarakat dan
negara. Selamat mengevaluasi diri dan belajar dengan perilaku dan pandangan
yang semestinya.
Setelah selesai membaca artikel tersebut, berikan
pendapat anda terhadap isi artikel tersebut dengan menjawab pertanyaan ini :
1 Bagaimanakah cara belajar
anda di perguruan tinggi selama ini ?
2 Apakah manfaat yang bisa diperoleh apabila anda memiliki
buku referensi yg dianjurkan oleh dosen? ( baik dengan cara pinjam perpustakaan
maupun membeli)
3 Apakah kerugian yang bisa dirasakan apabila pertemuan
kuliah di kelas hanya sekedar dimaknai DDCH
( Datang, Duduk, Catat, Hafalkan)?
4 Bagaimanakah rencana strategi belajar yang akan datang
anda setelah membaca artikel tersebut
Kirimkan jawaban anda ke email : hasthojn@yahoo.com
hmmmm,,,,,,
BalasHapussaya rasa memang kegiatan kuliah sejak saya mulai kuliah cara-caranya tidak jauh berbeda dengan anak SMA pada umumnya.....
"guru (dosen) seperti orang ceramah...." hehehehee.......
berbeda dengan apa yang sempat saya baca dari berbagai artikel dan pendapat dari aktivis mahasiswa bahwa kuliah bukan hanya mendengarkan ceramah, namun bagaimana mahasiswa berperan besar dalam perkuliahan. sehingga perkuliahan menjadi ruang-ruang diskursus......
heheheheheeee.....