Agama
mengajarkan……bila kita diberi nikmat/ sesuatu yang bernilai baik, maka harus dinisbatkan kepada
Allah. Sukses kita nisbatnya harus pada Allah. Katakanlah ini adalah karunia
dari Allah ( hadza min fadhli robbii),
sebagaimana syukurnya Nabi Sulaiman yg kaya raya. Betapa banyak nikmat Allah
yang kita terima. Eksplisit berulang kali pertanyaan retoris ditujukan kepada
kita , “ Fabi ayyi aalaa irobbikumaa
tukadz dzibaan” dalam surat Ar-Rohman. “Yok
apa maneh sing bisa sampeyan ingkari,” kata arek Malang.
Nah… sebaliknya
bila kita mengalami sesuatu hal yg buruk, maka nisbatnya adalah pada diri kita
sendiri. Musibah yg kita terima, nisbatnya harus pada diri sendiri. Contohnya:
pembalakan hutan secara liar, illegal logging, lalu lintas jalan yg semrawut,
rumah tangga tidak harmonis, dll. Setiap kita punya peran yg idealnya menjaga
harmoni denga alam. Tetapi……telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan,
karena ulah manusia (Dhoharol fasadu fil barri wal bahri bima kasabat
aidinnas). Nah…
Nisbat inilah
cara pandang agama/ spiritual thd peristiwa yg menyenangkan maupun yg
menyedihkan. Dalam memandang musibah, letusan merapi misalnya, kita tidak
menafikan cara pandang ilmiah. Itu memang penting, untuk mengantasipasi
kerugian /korban yg lebih banyak. Radius aman 10 km, 15 km, 20 km dst adalah
cara pandang ilmiah untuk menghindari terjangan awan panas. Namun jangan
lupakan cara pandang agama, misalnya mengapa merapi meletus? Apa dosa kita pada
Allah? Kemaksiatan apa yg telah kita perbuat? Mengapa berkali-kali kota Jogja diberi
bencana alam?
Kalau memang
Merapi sudah diketahui termasuk gunung yg masih aktif, maka mengapa tidak dari
dulu Pemda Sleman menetapkan saja radius aman 25 km misalnya. Kurang dari jarak
itu berarti tidak boleh ada perkampungan, sehingga dampak korban awan panas
masih bisa diantisipasi. Ini sangat beda dengan gempa yg episentrum dan tingkat
SR-nya sulit diprediksi.
Selain itu, cara pandang agama thd bencana alam,
terbagi 3 :
- Apakah sebagai peringatan (Level terendah )
- Apakah sebagai ujian (Level menengah )
- Apakah sebagai azab (Level tinggi )
Antara satu orang dengan orang yg
lain yg menjadi korban bencana alam tidaklah bisa digeneralisir bahwa semua
korban bencana alam itu sedang diuji Allah, atau sedang diazab Allah. Yang
benar adalah ada yg sedang diberi peringatan, ada yg diberi ujian, dan ada yg
diberi azab.
Cara
pandang terbaik adalah integrasi antara ilmiah dan spiritual. Bgm menyikapi
bencana alam? Sedih? Stres? Larilah/ kembalilah pada Allah. Mengapa harus
kembali pada Allah? Beberapa contoh peristiwa ini bisa dijadikan rujukan :
- Betapa takutnya umat Musa dikejar-kejar tentara Fir’aun padahal di depannya terbentang laut merah. Binasakah Musa dan umatnya? Tidak!!!. Padahal Musa tidak punya informasi sebelumnya bahwa tongkatnya akan bisa membelah lautan menjadi daratan yg bisa dilewati. Nah, pertolongan Allah datang tepat pada waktunya.
- Orang sekelas Abu bakar mengatakan mana pertolongan Allah (mata nasrullah?) ketika persembunyiannya bersama nabi SAW hampir diketahui orang-orang kafir yg mengejarnya. Nabi pun menjawab jangan khawatir Abu bakar, Allah bersama kita ( laa tahzan, innallaha ma’ana). Binasakah Abu bakar dan Rosullullah? Tidak !!!
Banyak orang yg
bingung menyikapi bencana yg datang beruntun ini. Padahal itu hal yg mudah bagi
Allah unttuk memulihkan situasi. Siapa yg kuasa menggerakkan hati orang-orang kaya
dan dermawan lainnya untuk memberikan sumbangan uang atau nasi bungkus
beribu-ribu ke para pengungsi merapi? Siapa yg mampu menggerakkan hati para relawan
untuk terjun langsung membuat dapur umum? Siapa yg menggerakkan hati seorang
tukang pijit refleksi, atau seorang pengusaha salon potong rambut untuk
membantu meringankan beban para pengunsi tanpa dibayar? Siapa yg berkuasa
membolak-balikkan hati manusia? Tentu saja Allah.
Siapa saja yg paling banyak doanya di saat musibah datang, maka dialah yg paling cepat dikabulkan.
Siapa saja yg paling banyak doanya di saat musibah datang, maka dialah yg paling cepat dikabulkan.
Yakinlah pada
pertolongan Allah untuk bangkit dari
bencana. Lihatlah Aceh yang kena tsunami 2005! Lihatlah Bantul yg kena gempa
bumi 2006. Tak terlihat lagi bekas tsunami. Tak terlihat lagi bekas gempa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar