Minggu, 07 Oktober 2012

ETIKA NISBAT

        Anda sehat? Sudah sembuh dari sakit? Anak dan istri juga sehat? Punya mobil baru? Atau apapun yang kita persepsikan sebagai nikmat, apakah kita akan hanya focus untuk menikmatinya? Ataukah lebih dari itu?
Agama mengajarkan……bila kita diberi nikmat/ sesuatu yang  bernilai baik, maka harus dinisbatkan kepada Allah. Sukses kita nisbatnya harus pada Allah. Katakanlah ini adalah karunia dari Allah ( hadza min fadhli robbii), sebagaimana syukurnya Nabi Sulaiman yg kaya raya. Betapa banyak nikmat Allah yang kita terima. Eksplisit berulang kali pertanyaan retoris ditujukan kepada kita , “ Fabi ayyi aalaa irobbikumaa tukadz dzibaan” dalam surat Ar-Rohman. “Yok apa maneh sing bisa sampeyan ingkari,” kata arek Malang.
     Nah… sebaliknya bila kita mengalami sesuatu hal yg buruk, maka nisbatnya adalah pada diri kita sendiri. Musibah yg kita terima, nisbatnya harus pada diri sendiri. Contohnya: pembalakan hutan secara liar, illegal logging, lalu lintas jalan yg semrawut, rumah tangga tidak harmonis, dll. Setiap kita punya peran yg idealnya menjaga harmoni denga alam. Tetapi……telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan, karena ulah manusia (Dhoharol  fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidinnas). Nah…

 Nisbat inilah cara pandang agama/ spiritual thd peristiwa yg menyenangkan maupun yg menyedihkan. Dalam memandang musibah, letusan merapi misalnya, kita tidak menafikan cara pandang ilmiah. Itu memang penting, untuk mengantasipasi kerugian /korban yg lebih banyak. Radius aman 10 km, 15 km, 20 km dst adalah cara pandang ilmiah untuk menghindari terjangan awan panas. Namun jangan lupakan cara pandang agama, misalnya mengapa merapi meletus? Apa dosa kita pada Allah? Kemaksiatan apa yg telah kita perbuat? Mengapa berkali-kali kota Jogja diberi bencana alam?
 Kalau memang Merapi sudah diketahui termasuk gunung yg masih aktif, maka mengapa tidak dari dulu Pemda Sleman menetapkan saja radius aman 25 km misalnya. Kurang dari jarak itu berarti tidak boleh ada perkampungan, sehingga dampak korban awan panas masih bisa diantisipasi. Ini sangat beda dengan gempa yg episentrum dan tingkat SR-nya sulit diprediksi.
Selain itu, cara pandang agama thd bencana alam, terbagi 3 :
  1. Apakah sebagai peringatan (Level terendah )
  2. Apakah sebagai ujian (Level menengah )
  3. Apakah sebagai azab (Level tinggi )
Antara satu orang dengan orang yg lain yg menjadi korban bencana alam tidaklah bisa digeneralisir bahwa semua korban bencana alam itu sedang diuji Allah, atau sedang diazab Allah. Yang benar adalah ada yg sedang diberi peringatan, ada yg diberi ujian, dan ada yg diberi azab.
          Cara pandang terbaik adalah integrasi antara ilmiah dan spiritual. Bgm menyikapi bencana alam? Sedih? Stres? Larilah/ kembalilah pada Allah. Mengapa harus kembali pada Allah? Beberapa contoh peristiwa ini bisa dijadikan rujukan :
  1. Betapa takutnya umat Musa dikejar-kejar tentara Fir’aun padahal di depannya terbentang laut merah. Binasakah Musa dan umatnya? Tidak!!!. Padahal Musa tidak punya informasi sebelumnya bahwa tongkatnya akan bisa membelah lautan menjadi daratan yg bisa dilewati. Nah, pertolongan Allah datang tepat pada waktunya. 
  2. Orang sekelas Abu bakar mengatakan mana pertolongan Allah (mata nasrullah?) ketika persembunyiannya bersama nabi SAW hampir diketahui orang-orang kafir yg mengejarnya. Nabi pun menjawab jangan khawatir Abu bakar, Allah bersama kita ( laa tahzan, innallaha ma’ana). Binasakah Abu bakar dan Rosullullah? Tidak !!!
Banyak orang yg bingung menyikapi bencana yg datang beruntun ini. Padahal itu hal yg mudah bagi Allah unttuk memulihkan situasi. Siapa yg kuasa menggerakkan hati orang-orang kaya dan dermawan lainnya untuk memberikan sumbangan uang atau nasi bungkus beribu-ribu ke para pengungsi merapi? Siapa yg mampu menggerakkan hati para relawan untuk terjun langsung membuat dapur umum? Siapa yg menggerakkan hati seorang tukang pijit refleksi, atau seorang pengusaha salon potong rambut untuk membantu meringankan beban para pengunsi tanpa dibayar? Siapa yg berkuasa membolak-balikkan hati manusia? Tentu saja Allah. 
Siapa saja yg paling banyak doanya di saat musibah datang, maka dialah yg paling cepat dikabulkan.
Yakinlah pada pertolongan Allah  untuk bangkit dari bencana. Lihatlah Aceh yang kena tsunami 2005! Lihatlah Bantul yg kena gempa bumi 2006. Tak terlihat lagi bekas tsunami. Tak terlihat lagi bekas gempa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar